Friday, May 17, 2024
FeaturedPerspectives

Pencapaian Agenda Pendidikan Berkualitas untuk Semua (SDG-4) di Tengah Disrupsi Pandemi Covid-19

Disrupsi dari proses pembelajaran di Indonesia sebagai dampak dari respon terhadap pandemi Covid-19 sangat berpotensi mengganggu agenda pencapaian SDG-4 (Pendidikan berkualitas untuk semua). Gangguan tersebut terjadi pada dua aspek: Pertama, berkurangnya kualitas pembelajaran secara keseluruhan, karena disrupsi tiba-tiba dalam proses pembelajaran tanpa prasyarat infrastruktur dan sumber daya yang memadai. Kedua, meningkatnya ketimpangan pencapaian pendidikan karena disrupsi ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok masyarakat miskin atau di daerah terpencil. Dua aspek ini, kesetaraan akses dan kualitas pencapaian adalah pekerjaan rumah paling urgen dari pencapaian SDG-4 Indonesia.

Beberapa waktu lalu, Rudi, seorang mahasiswa Universitas Hasanudin terjatuh dari menara masjid di kampung halamannya, Sinjai, Sulawesi Selatan, gara-gara berusaha mendapatkan akses signal internet untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Di tempat lain, pelajar dan mahasiswa Mapat Tunggul Selatan, Nagari Silayang, Sumatera Barat, harus menempuh 40 Km untuk mendapatkan kualitas jaringan internet yang bagus agar dapat tetap mengikuti kuliah. Rudi, demikian juga para pelajar di Nagari Silayang adalah korban dari pandemi Covid-19 yang saat ini melanda berbagai belahan dunia. Hampir semua korban jiwa dari pandemi Covid-19 meninggal karena komorbiditas—penyakit lain yang menjadi parah karena virus Corona merusak kekebalan tubuh mereka. Dalam konteks Rudi dan para pelajar di Sumatera Barat tadi, “komorbiditas” tersebut adalah kesenjangan ekonomi.

Kebijakan hampir seluruh negara di dunia untuk melakukan lockdown, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia, dalam kondisi pandemi, berdampak pada interupsi pembelajaran pelajar dan mahasiswa, termasuk di dalamnya proses belajar mengajar dan proses evaluasi belajar. UNESCO, misalnya, melaporkan sekitar 177 negara di dunia telah menutup sekolah sehingga lebih dari 1,2 juta pelajar dan mahasiswa turut terdampak. Di Indonesia kebijakan ini berpengaruh pada sekitar 68 juta anak-anak dan remaja pelajar, yaitu sekitar 5 juta anak prasekolah; 24,7 juta anak Sekolah Dasar (SD); 9,9 juta anak dan remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP); 9,9 juta remaja Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMA & SMK); serta 8 juta mahasiswa (https://dapo.dikdasmen.kemdikbud.go.id/pd.). Skema pembelajaran daring dianggap menjadi respon terbaik untuk memitigasi disrupsi tersebut. Akan tetapi efektivitasnya sangat dipengaruhi oleh pengalaman kita dalam proses pengelolaan belajar daring dan ketersediaan akses infrastruktur untuk semua pelajar dan mahasiswa. Tanpa kedua prasyarat tersebut efektivitas pembelajaran akan terganggu dan pencapaian target-target SDGs bidang pendidikan akan lebih sulit dicapai.

Hampir semua korban jiwa dari pandemi Covid-19 meninggal karena komorbiditas—penyakit lain yang menjadi parah karena virus Corona merusak kekebalan tubuh mereka. Dalam konteks Rudi dan para pelajar di Sumatera Barat tadi, “komorbiditas” tersebut adalah kesenjangan ekonomi.

Pendidikan berkualitas untuk semua (SDG-4) merupakan salah satu dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dalam SDGs, pendidikan mutlak merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Tujuan-tujuan SDGs lain seperti meniadakan kemiskinan, meniadakan kelaparan, memberdayakan anak perempuan, memerangi perubahan iklim, memerangi ketimpangan, dan mengakhiri kemiskinan ekstrem, hanya bisa dilakukan jika pendidikan masyarakat maju. SDG-4 meliputi berbagai aspek pendidikan, termasuk partisipasi; kualitas dan hasil pembelajaran; infrastruktur sekolah; kualitas guru; keselamatan dan kebersihan di sekolah; dan komitmen terhadap nilai-nilai kewarganegaraan global dalam pendidikan. Dalam pencapaian target SDGs ke-4 terkait pendidikan, tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana menjamin pendidikan yang berkualitas secara inklusif dan merata.

Hasil kajian monitoring SDG-4 yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan UNICEF dan SDGs Center Unpad menyimpulkan bahwa bukan problem akses terhadap pendidikan yang paling urgen. Dalam konteks pencapaian SDG-4, urgensi ada pada aspek kualitas dan kesenjangan. Saat ini kualitas pendidikan di Indonesia boleh dikatakan masih rendah. Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia misalnya dapat dilihat dari peringkat PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia. PISA adalah pengujian kemampuan dasar pengetahuan anak-anak sekolah berusia 15 tahun di berbagai negara. Sejak empat tahun terakhir posisi Indonesia menurun di semua bidang yang diujikan, yaitu membaca, matematika, dan sains. Laporan PISA terakhir, misalnya, melaporkan Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menduduki skor paling bawah bersama Filipina. Transisi tiba-tiba ke pembelajaran daring sebagai imbas dari pandemi Covid-19 sangat mungkin berpotensi memperparah rendahnya pencapaian kualitas pembelajaran itu.

Saat ini, berbagai platform pembelajaran daring ditawarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), di antaranya Rumah Belajar, MejaKita, Icando, Ruang Guru, dsb. Masing-masing menawarkan skema kurikulum dan teknik pembelajaran yang berbeda-beda. Kemdikbud pun menyediakan website fasilitas belajar daring. Karena kemampuan guru sangat bervariasi, banyak juga proses belajar daring dilakukan dengan cara sederhana, seperti menggunakan jasa text-messaging seperti WhatsApp. Sebagian ada pula yang menggunakan aplikasi conference-call seperti Zoom, Google meet, dsb. guna memfasilitasi tatap muka. Untuk evaluasi belajar, Kemendikbud telah secara resmi menyatakan pembatalan Ujian Nasional tahun 2020. Syarat penentu kelulusan siswa diganti dengan mengadakan Ujian Sekolah (US). US tidak mengumpulkan siswa secara fisik. Jika sekolah tidak siap mengadakan US daring, US bisa dilakukan dalam bentuk portofolio nilai rapor dan prestasi yang diperoleh sebelumnya, penugasan, dan/atau bentuk asesmen jarak jauh lainnya. Semua itu merupakan disrupsi dalam proses pembelajaran, karena sifatnya yang mendadak tanpa jaminan kesiapan yang memadai bisa jadi berdampak terhadap kualitas pembelajaran.

Hasil kajian monitoring SDG-4 yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan UNICEF dan SDGs Center Unpad menyimpulkan bahwa bukan problem akses terhadap pendidikan yang paling urgen. Dalam konteks pencapaian SDG-4, urgensi ada pada aspek kualitas dan kesenjangan.

Sampai saat ini, dalam studi literatur, dampak dari perubahan proses pembelajaran dari tatap-muka ke daring belum dapat disimpulkan secara meyakinkan. Studi-studi tersebut pun kebanyakan dilakukan di negara-negara maju dan sebagian besar untuk jenjang perguruan tinggi. Banyak studi menunjukkan bahwa dampak pembelajaran daring tidak selalu baik apalagi jika terdapat kesenjangan akses terhadap infrastrukturnya. Studi Xu dan Jaggars (2013) misalnya, melakukan studi pada beberapa community colleges dan technical colleges di AS, menunjukkan adanya kecenderungan pembelajaran daring mengurangi tingkat ketekunan dan nilai ujian. Hal ini didukung oleh Jaggars dan Bailey (2010), yang menyatakan bahwa tidak ada bukti kongkret bahwa pembelajaran daring memberikan hasil belajar yang lebih unggul dibandingkan belajar langsung, terutama di antara siswa berpenghasilan rendah dan mereka yang secara akademis kurang siap. Burgess dan Sieverson (2020), bahkan menyatakan bahwa dalam kondisi pandemik ini, disrupsi ini menyebabkan produktivitas orang tua terganggu, yang pada akhirnya juga mempengaruhi kehidupan sosial anak-anak. Pergi ke sekolah meningkatkan keterampilan sosial dan kesadaran sosial, yang dari sudut pandang ekonomi dapat meningkatkan kemampuan keterampilan anak. Kondisi trial and error dan ketidakpastian dalam proses belajar di rumah, akan menjadi masalah jangka panjang untuk kelompok terdampak dan cenderung meningkatkan ketidaksetaraan.

Di Indonesia, karena pandemi Covid-19, sistem pembelajaran jarak jauh daring diimplementasikan secara massif dan sangat tiba-tiba. Tentunya ini dilakukan tanpa persiapan infrastruktur, sumber daya, dan kapasitas yang memadai terutama dalam memastikan semua siswa, tanpa terkecuali, mempunyai akses yang setara. Itulah tantangan terbesarnya. Kajian Monitoring SDG-4 (Kemendikbud-UNICEF-SDGs Center Unpad) melaporkan adanya gap akses pendidikan antara kaya dan miskin yang cukup serius. Selama 15 tahun terakhir, secara rata-rata, proporsi anak-anak dari keluarga 25% termiskin yang memiliki kemampuan membaca minimum, misalnya, hanyalah setengah dari proporsi anak-anak dari keluarga 25% terkaya (Gambar 1). Pada tahun 2018, hanya 18% anak-anak dari 25% keluarga termiskin yang memiliki kemampuan minimum membaca. Jauh lebih kecil dibanding dengan 48% pada kelompok 25% keluarga terkaya. Demikian pula halnya kemampuan matematika. Pada tahun 2018, hanya 18% anak-anak dari 25% keluarga termiskin yang memiliki kemampuan minimum matematika. Dibanding dengan 48% pada 25% keluarga terkaya (Gambar 2).

Gambar 1 – Proporsi anak berusia 15 tahun yang mencapai kemahiran minimum dalam membaca berdasarkan status ekonomi rumah tangga
Gambar 2 – Proporsi anak berusia 15 tahun yang mencapai kemahiran minimum dalam matematika berdasarkan status ekonomi rumah tangga

Di sisi lain kesenjangan juga terjadi dalam hal akses terhadap koneksi internet, yang menjadi hal penting dalam pembelajaran daring. Data Susenas (Maret, 2019) menunjukkan bahwa kesenjangan akses internet di kalangan pelajar cukup besar dan berpotensi berdampak serius pada kesenjangan kualitas pendidikan apalagi jika pembelajaran daring ini akan berlangsung cukup lama.

Ada dua jenis kesenjangan akses internet yang bisa berdampak buruk terhadap efektivitas pembelajaran daring sebagai imbas dari pandemi Covid-19. Pertama kesenjangan antardaerah dan kedua kesenjangan antarkelompok ekonomi. Kualitas internet tergantung dari ketimpangan infrastruktur internet, yang secara geografis belum merata. Gambar 3 menunjukkan sebaran dari intensitas penggunaan internet di kalangan pelajar dan mahasiswa. Tampak bahwa sebaran intensitas itu sangat tidak merata. Bahkan di Pulau Jawa sendiri terdapat kesenjangan antardaerah yang cukup besar.

Gambar 3 – Intensitas penggunaan Internet di kalangan pelajar/mahasiswa (%)
Gambar 4 – Penggunaan internet anak sekolah kelompok 20% termiskin (%)

Penggunaan internet di kalangan pelajar/mahasiswa dari kelompok masyarakat bawah juga sangat rendah. Siswa SD dari kelompok 20% termiskin misalnya hanya 1,2% saja yang pernah menggunakan komputer untuk mengakses internet; hanya 5,9% pernah menggunakan internet untuk membantu proses pembelajaran; dan hanya 13,9% yang pernah menggunakan internet di rumah sendiri (Gambar 4). Jika hanya 13,9% siswa SD di kelompok “miskin” ini yang biasa menggunakan internet di rumah sendiri, apa yang akan terjadi dengan 87,1% siswa yang lain ketika mereka terpaksa harus belajar dari rumah sebagai dampak dari pandemi Covid-19?

Gambar 5 – Penggunaan internet di kalangan anak sekolah jenjang SD berdasarkan kelompok pendapatan (%)
Gambar 6 – Penggunaan internet di kalangan anak sekolah jenjang SMP berdasarkan kelompok pendapatan (%)

Gambar 5 dan Gambar 6 dengan jelas menunjukkan bahwa akses internet sangat tidak merata. Kelompok masyarakat lebih kaya cenderung mempunyai akses lebih besar. Proporsi siswa SD yang pernah menggunakan internet untuk proses pembelajaran dari kalangan 10% termiskin misalnya hanya 5%. Sementara dari kelompok 10% terkaya mencapai 34%. Demikian juga dengan para pelajar di jenjang SMP.

Dari berbagai pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa disrupsi dari proses pembelajaran di Indonesia sebagai dampak dari respon terhadap pandemi Covid-19 sangat berpotensi mengganggu agenda pencapaian SDG-4 (Pendidikan berkualitas untuk semua). Gangguan tersebut terjadi pada dua aspek: Pertama, berkurangnya kualitas pembelajaran secara keseluruhan, karena disrupsi tiba-tiba dalam proses pembelajaran tanpa prasyarat infrastruktur dan sumber daya yang memadai. Kedua, meningkatnya ketimpangan pencapaian pendidikan karena disrupsi ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok masyarakat miskin atau di daerah terpencil. Dua aspek ini, kesetaraan akses dan kualitas pencapaian adalah pekerjaan rumah paling urgen dari pencapaian SDG-4 Indonesia.

Data Susenas (Maret, 2019) menunjukkan bahwa kesenjangan akses internet di kalangan pelajar cukup besar dan berpotensi berdampak serius pada kesenjangan kualitas pendidikan apalagi jika pembelajaran daring ini akan berlangsung cukup lama.

Menghadapi persoalan terkait pembelajaran daring pada masa pandemi Covid 19 ini dan juga pencapaian target SDG-4, hal-hal berikut bisa menjadi ruang perbaikan. Pertama, perlunya melakukan pengumpulan informasi yang melibatkan pihak sekolah terkait dampak pandemik Covid-19 dalam 3 bulan terakhir, baik dari sisi siswa, guru, maupun orang tua. Pengumpulan informasi ini dapat menggunakan sistem dapodik yang sudah dipakai selama ini. Kedua, perlunya menciptakan strategi pembelajaran yang adaptif terhadap kondisi pandemik dengan cara melakukan perubahan kurikulum yang lebih ramah terhadap siswa dan guru, juga mengakomodasi keterbatasan tatap muka. Perubahan kurikulum bisa berupa penyederhanaan mata pelajaran, penyederhanaan topik di dalam mata pelajaran dan penyesuaian target kompetensi dasar yang harus diraih siswa. Ketiga, perlu adanya program atau kegiatan peningkatan kapasitas guru untuk merancang metode pembelajaran jarak jauh, sekaligus peningkatan kapasitas guru dalam penggunaan berbagai alat dan media pembelajaran jarak jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan berbagai pelatihan jarak jauh kepada para guru selama masa libur sekolah. Keempat, perlu adanya sistem komunikasi antara guru dan orang tua untuk membantu proses belajar siswa di rumah. Sistem komunikasi ini juga hendaknya memungkinkan proses konsultasi antara orang tua dan guru di luar waktu belajar siswa. Guru bimbingan dan konseling bisa mengambil peran pada proses komunikasi ini. Kelima, perlunya memperluas penggunaan dana BOS untuk membantu pembelian pulsa dan paket internet dan juga peminjaman perangkat komunikasi untuk anak dari keluarga tidak mampu. Terakhir, perlunya pemikiran menggulirkan program guru berkunjung untuk siswa yang tinggal di wilayah dengan keterbatasan jaringan internet atau siswa yang berkebutuhan khusus. Melalui program ini, guru-guru dapat melakukan kunjungan ke tempat tinggal siswa atau melakukan pengajaran kepada kelompok kecil siswa. Untuk mendukung program ini, Kemendikbud bersama dengan Dinas Pendidikan di pemerintah daerah perlu membuat SOP yang bisa menjamin keamanan proses belajar.

Download PDF Version