Friday, May 17, 2024
Perspectives

Beras, Pangan dan Kemiskinan

Walaupun status ekonomi Indonesia termasuk kedalam kelompok negara berpendapatan menengah, banyak data-data menunjukkan kondisi kemiskinan kita masih cukup mengkhawatirkan. Di negara-negara ASEAN tingkat kemiskinan kita tertinggi kedua setelah Laos (Bank Dunia). Selain itu, Data Bank Dunia tahun 2017 menunjukkan 70-an persen rakyat Indonesia masih miskin atau rentan.

Dalam teori ekonomi, ada yang disebut dengan kurva Engel. Kurva ini menghubungkan pendapatan dengan proporsi makanan dalam total pengeluaran. Semakin tinggi pendapatan semakin rendah proporsinya demikian juga sebaliknya. Karena tentunya melihat angka-angka kemiskinan diatas, Indonesia masih jauh dari sejahtera, maka proporsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya akan cukup besar.

Idealnya, ketika kebutuhan konsumsi makanan rakyat Indonesia masih cukup tinggi, harusnya harga-harga makanan, terutama makanan pokok cukup terjangkau. Sayangnya ini tidak terjadi. Profesor Stephen Mark (2017), misalnya, menemukan harga-harga makanan kebutuhan pokok di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga internasional. Untuk beras misalnya, konsumen Indonesia harus membayar 64% lebih mahal, gula 48% lebih mahal, daging 37% lebih mahal, dan buah-buahan 24% lebih mahal.

Bahkan Food and Agriculture Organization (FAO), Lembaga PBB yang berbasis di Roma, Italia sering menempatkan Indonesia pada daftar negara dengan red-alert karena harga pangannya sering mengalami flutuasi ke tingkat harga yang abnormal sehingga beresiko berdampak negatif terhadap aksesibilitasnya.

Banyak faktor yang menyebabkan tingginya harga-harga bahan pangan di Indonesia, baik dari sisi permintaan maupun penawaran atau produksi. Yang pasti, salah satunya adalah tata niaganya masih harus dibenahi. Sering regulasi atau tata niaga yang dilakukan pemerintah justru menyuburkan system perburuan rente ekonomi. Niat awalnya melindungi konsumen dan petani, akhirnya malah menguntungkan segelintir pedagang besar atau yang berkolusi dengan mereka. Teori ekonomi mikro dasar misalnya jelas-jelas menunjukkan bahwa rente ekonomi sangat menggiurkan jika pelaku usaha memperoleh pangsa pasar dominan (misal monopolisasi sebagai agen impor pangan) untuk komoditas-komoditas yang elastisitas harganya rendah seperti makanan pokok. Wajar sajalah banyak sekali aparat negara dan pihak swasta yang dicokok Komisi Pengawas Korupsi (KPK) karena mereka berkolusi dan melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan konsumen pada sektor-sektor pangan. Gula dan daging sapi adalah contoh-contohnya.

Yang pasti sebagai dampaknya, Indonesia, yang populasi penduduknya miskinnya masih sangat besar, kemudian pola konsumsinya masih sangat dominan pangan, tetapi harga makanan dan bahan makanannya sangat tinggi, dan pada tahap yang cukup “membahayakan”.

Mengapa “membahayakan”? Karena tingkat kemiskinan di Indonesia sangat sensitif terhadap inflasi dan inflasi sangat sensitif terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok. Dengan menggunakan Data SUSENAS 2015 misanya, saya menghitung bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan yang sebesar 8.3% akan meningkat hampir dua kalinya menjadi 16.2% kalau garis kemiskinan hanya dinaikan hanya 20%. Di pedesaan, dari 14.2% akan meningkat menjadi 26%. Setiap 1% kenaikan harga beras, misalnya, terdapat potensi kenaikan jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak hampir 300 ribu orang. Ini yang dimaksud berbahaya karena Presiden Jokowi, misalnya, di awal pemerintahnya mentargetkan kemiskinan untuk turun ke angka sekitar 8-9% di akhir masa pemerintahannya.

Bahkan, kalau kita ingat, pemerintah sebenarnya sudah merasakan kegetiran penambahan kemiskinan akibat kenaikan harga pangan di bulan-bulan awal pemerintahan Jokowi. Harga beras yang naik tinggi di awal tahun 2015 tidak terantisipasi dengan baik, sehingga kemiskinan meningkat. Ini tentunya bukan awal yang baik bagi pemerintahan Jokowi (Yusuf & Sumner, 2015).

Pemerintah perlu serius untuk menyelesaikan tingginya harga pangan ini karena hal ini sudah berlangsung lama. Lihat saja perkembangan indeks harga konsumen dari tahun 2013 sampai tahun 2017 dan bandingkan dengan garis kemiskinan. Nampak bahwa garis kemiskinan selalu meningkat lebih cepat daripada inflasi. Ini artinya, inflasi yang dihadapi oleh orang miskin selalu meningkat lebih cepat daripada inflasi yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya.

Sekali lagi, kerentanan Indonesia terhadap meningkatnya kemiskinan sebagai dampak dari tinggi dan fluktuatif-nya harga pangan bukan hanya resiko, tapi sudah fakta dengan meningkatnya kemiskinan di Maret 2015. Ini tentunya inkonsisten dengan warna pemerintahan baru yg seharusnya lebih pro-poor.

Salah satu yang sering mengaburkan permasalahan adalah semangat ketahanan pangan. Ketahanan pangan sering diartisempitkan sebagai kedaulatan atau swasembada pangan. Padahal ketahanan pangan juga mencakup aksesibilitas dan keterjangkauan pangan. Negara-negara dengan indeks ketahanan pangan yang tinggi tidak hanya mengandalkan produksi dalam negeri (Lihat data Food Security Index).

Ketahanan pangan sering juga diartisempitkan dengan semangat anti impor. Ada banyak manfaat untuk memproduksi pangan sendiri, tetapi tentunya tidak harus dipaksakan, misalnya untuk semua komoditas, tanpa memperhitungkan ongkos ekonomi dan sosialnya.  Yang pasti nafsu berswasembada jangan dilakukan tergesa-gesa. Kalau niatnya melakukan swasembada pangan tetapi akhirnya rakyat sendiri yang dikorbankan dan semakin terpuruk dalam kemiskinan, tentunya ini bukan hal yang kita inginkan.

Selama berpuluh-puluh tahun, pemerintah, dengan didukung juga oleh para politisi, sering melakukan kebijakan atas nama peningkatan kesejahteraan petani. Pupuk disubsidi, impor dibatasi hanyalah contoh dari banyak kebijakan-kebijakan tersebut. Tetapi lihat hasilnya. Kita ambil saja periode 2011 sampai 2017 dimana secara rata-rata orang Indonesia mengalami peningkatan kesejahteraan lebih dari 20%. Petani kita malah hampir tidak mengalami peningkatan kesejahteraan sama sekali. Indeks nilai tukar petani selama 6 tahun tersebut hanya meningkat 1.4% saja. Apa yang menyebabkannya?

Nilai tukar petani adalah rasio dari nilai produksi yang dijual petani dengan nilai barang yang harus dibeli petani. Tingginya harga produk-produk pertanian baik bagi petani, tetapi petani juga harus membeli barang. Dan kalau apa yang dijual nilainya tidak sepadan dengan apa yang dibeli, petani akan mengalami stagnasi kesejahteraan.

Data  SUSENAS misalnya menunjukkan bahwa sebagian besar petani di Indonesia adalah net-konsumen beras, artinya kalau harga beras naik terlalu tinggi sebagian besar petani akan berkurang kesejahteraannya. Bahkan sekitar 26% petani beras sendiri mereka adalah net-konsumen, kelompok yang akan dirugikan jika harga beras naik tinggi, belum kalau kita hitung seluruh orang miskin di Indonesia. Intinya, kebijakan perlindungan atau peningkatan kesejahteraan petani harus dilihat dari aspek yang lebih luas dan dengan jangan sampai merugikan rakyat kebanyakan.

Apa yang sebaiknya kita lakukan agar kesejahteraan petani mengalami perbaikan dan konsumen terutama orang miskin di Indonesia juga terlindungi atau bahkan semakin terangkat kesejahteraannya?

Dalam konteks ini, kita harus membedakan upaya jangka pendek dan jangka panjang. Dari sisi supply, petani kesejahteraannya kecil adalah karena produktivitasnya rendah, produktivitasnya rendah terjadi karena setidaknya dua hal, produktivitas lahannya rendah dan lahan yang dikuasainya sedikit. Meningkatkan produktivitas petani tidak melulu harus dengan menambah luas penguasaan lahan. Di era pembangunan yang semakin pesat ini, luas lahan pertanian secara alamiah akan semakin terdesak. Sehingga strategi yang dilakukan justru adalah melakukan diversifikasi usaha supaya masyarakat di pedesaan tidak terlalu tergantung pada usaha tani berbasis lahan tetapi pada aktivitas ekonomi lain yang lebih bernilai tambah, terutama pada sektor-sektor pengolahan hasil-hasil pertanian. Ini yang disebut dengan proses transformasi pertanian. Anak petani tidak harus jadi petani tapi bisa menjadi pengusaha pengolahan hasil-hasil pertanian bahkan menjadi eksportir. Dengan demikian luas lahan untuk setiap petani tidak tertekan oleh pertumbuhan penduduk di pedesaan dan petani bisa menguasai lahan yang lebih luas.

Selain itu, meningkatkan produktivitas lahan juga bisa dilakukan melalui peran pemerintah yang lebih intensif dalam melakukan riset di bidang pertanian. Misalnya riset-riset di penemuan bibit unggul, anti hama, minimal pupuk, organik bahkan ke bidang-bidang unggul seperti rekayasa genetika. Secara ekonomi, peningkatan produktivitas melalui riset akan meningkatkan kesejahteraan petani tanpa kecenderungan menaikkan harga malah menurunkan harga, sehingga baik petani maupun konsumen akan diuntungkan. Selain riset tentunya infrastruktur terkait pertanian seperti irigasi, system transportasi produk pertanian juga adalah bidang-bidang dimana pemerintah harus berperan lebih luas dan lebih baik.

Tentunya, hal-hal tersebut sifatnya jangka panjang. Dalam jangka pendek, pemerintah jangan tergoda jargon-jargon populis yang justru malah akan merugikan konsumen terutama rakyat miskin. Tata niaga impor misalnya harus transparan. Pengendalian impor secara kuantitatif atau kuota susah untuk terlindungi dari kolusi antara apparat dan pelaku usaha. Selalu ada tendesi untuk disalahgunakan dan yang memperoleh keuntungan pada akhirnya bukan petani atau konsumen. Sehingga dalam hal ini, pengendalian impor sebaiknya dilakukan dengan mekanisme transparan seperti tarif.

Tarifikasi impor beras dengam mekanisme impor terbuka, misalnya, dibandingkan dengan kuota impor atau bahkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) seperti yang dilakukan saat ini mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, karena menghilangkan proses pemberian izin impor, karena sifatnya terbuka, siapa saja bisa impor asal membayar tarif, maka kolusi dan perburuan rente dengan sendirinya akan bisa diminimalisir. Demikian juga dampak negatifnya berupa harga tinggi yang dibebankan secara berlebihan kepada konsumen. Pemerintah malah memperoleh masukan penerimaan negara dari tarif dan bukan “mafia” yang diuntungkan.

Kedua, tidak seperti kebijakan HET, pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya yang tinggi untuk melakukan operasi pasar atau monitoring. Indonesia negara yang sangat luas dan bahkan pelosok-pelosoknya susah untuk dijangkau. Monitoring seperti itu terlalu berbiaya dan akhirnya tidak akan efektif.

Ketiga, karena keuntungan berlebih dari perdagangan beras itu ada di distribusi (pedagang dan distributor) bukan di produksi, maka tarifikasi dengan impor terbuka masih membuka peluang untuk melindungi petani. Kalau harga beras impor dirasa terlalu rendah, maka tarif bisa dinaikan. Besarnya tarif ditentukan sedemikian rupa agar menghilangkan ekses keuntungan di tingkat distributor. Disini tingkat kompetisi harus tetap dijaga misalnya melalui pemantauan komisi pengawas persaingan usaha (KPPU). Kompetisi bisa memastikan agar keuntungan normal di level pedagang tetap memberikan insentif untuk melakukan usaha perdagangan tetapi tidak ada barrier-to-entry yang bisa merusak harga.

Ini adalah contoh-contoh kebijakan jangka pendek yang bisa dilakukan ketika kita menunggu upaya-upaya jangka panjang seperti peningkatan produktivitas melalui riset dan infrastruktur mulai terasa manfaatnya. Ketika dampak positif upaya jangka panjang sudah mulai terasa, tidak usah lagi sektor pertanian kita diproteksi baik melalui tarif maupun dengan kuota karena harganya pun akan sudah bisa bersaing di pasar internasional. Dan pasar produk-produk pertanian kita bukan hanya jadi jago kandang karena diproteksi, tetapi menguasai pasar dunia.


*) Penulis adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi di Universitas Padjadjaran dan Peneliti Senior di SDGs Center UNPAD. Artikel ini akan adalah salah satu bab dalam buku yang ditulis penulis dengan judul “Keadilan untuk Pertumbuhan” yang akan terbit sekitar bulan Februari 2018.