Saturday, October 12, 2024
SDGs Solutions

Pangan Darurat Siap Guna untuk Mempertahankan Status Gizi Anak di Daerah Terdampak Bencana

Gizi merupakan salah satu fokus pembangunan kesehatan dalam Sustainable Development Goals (SDG’s) tahun 2016-2030. Gizi menjadi faktor kunci dalam keberhasilan perbaikan status kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia. Gizi yang baik meningkatkan standar kesehatan masyarakat. Indikator keberhasilan SDG’s diterjemahkan dalam enam poin, yakni peningkatan ASI eksklusif, makanan pada ibu hamil serta anak, menekan jumlah balita pendek, ibu hamil penderita anemia, kurang energi, dan balita kurus. Dua indikator terakhir sangat terkait dengan pemenuhan asupan makanan bagi balita serta akses untuk mendapatkan makanan berkualitas baik. Tidak semua wilayah di Indonesia memiliki sarana infrastruktur yang baik dan memudahkan masyarakat dalam mengakses makanan yang baik dan sehat. Sebagian wilayah Indonesia berada dalam lokasi rawan bencana yang dapat datang sewaktu-waktu dan menyebabkan tertutupnya akses untuk mendapatkan makanan. Anak-anak yang berada di lokasi rawan bencana dapat menjadi mengalami penurunan status gizi karena kekurangan energi yang disebabkan akses yang buruk terhadap makanan berkualitas. Hal tersebut juga terkait dengan belum tercapainya ketahanan pangan secara nasional maupun global yang menjadi salah satu tujuan dalam SDG’s.

Ketahanan pangan global tengah mengalami kesulitan akibat dampak anomali cuaca, sehingga harga pangan meningkat tajam. Kebijakan (UU Nomor 18 Tahun 2012) tentang pangan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional. Indonesia merupakan daerah yang rawan terhadap bencana, baik bencana alam, sosial maupun kegagalan teknologi. Sebagai sebuah negara yang sangat besar dengan lebih dari 220 juta jiwa dan kondisi geografis yang sangat rawan bencana dimana sebagian wilayah Indonesia berada dalam Cicin Api Pasifik (Ring of fire) yaitu suatu wilayah atau daerah yang mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan samudera pasifik.

Gambar 1. Wilayah Indonesia yang berada didalam kawasan Ring of Fire.

Untuk wilayah Jawa Barat, dampak bencana gempa meliputi 15 kabupaten/kota, yakni: Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bogor, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Kuningan, KabupatenMajalengka, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Subang, Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, dan Kota Sukabumi; meliputi 296 kecamatan atau 47% dari seluruh kecamatan di Jawa Barat. Namun, kerusakan yang lebih besar dengan korban jiwa yang signifikan dialami wilayah Jawa Barat bagian Selatan, terutama di Kabupaten Cianjur, Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Bandung, serta Kabupaten Sukabumi. Selain mengakibatkan korban kematian dan berbagai kerusakan lainnya yang ditimbulkan oleh bencana gempa, bencana tersebut juga mengganggu ketersediaan pangan di daerah rawan bencana dan mengakibatkan kerawanan pangan. Solusi untuk mengatasi masalah rawan pangan termasuk kondisi tanggap darurat sampai saat ini masih mengacu pada penyediaan beras dan mie instant sebagai cadangan pangan. Dalam keadaan darurat, penyediaan makanan seperti beras dan mie instant tidaklah menyelesaikan masalah. Dalam mengolah beras atau mie instant menjadi makanan yang siap konsumsi diperlukan ketersediaan air bersih yang memadai, sementara dalam keadaan darurat, ketersediaan air bersih sering menjadi kendala. Kualitas dan kuantitas air yang tidak sesuai standar konsumsi manusia dapat menjadi sumber masalah baru bagi kelompok masyarakat terdampak bencana. Indonesia sudah selayaknya memiliki sebuah konsep pangan darurat.

Dalam keadaan darurat, ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan gizi masyarakat terdampak bencana menjadi sangat penting. Dalam keadaan demikian, keberadaan pangan darurat bencana menjadi suatu keniscayaan. Menururt US Agency of International Development (USAID), pangan darurat atau emergency food harus memiliki sifat aman dikonsumsi, palatable, mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi, dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Pangan Darurat adalah produk pangan yang dapat memenuhi kebutuhan energy manusia (2100 Kkal) yang di butuhkan dalam keadaan tertentu serta memiliki nilai gizi yang di rancang khusus  sesuai dengan kebutuhkan dalam situasi darurat. Pangan darurat ini sebaiknya memiliki daya simpan yang panjang, mudah didistribusikan, nilai nutrisi yang tidak mudah rusak (dapat di pertahankan) karena dalam lingkungan posko pengaman, suhu dan faktor lingkungan lainnya tidak menentu. Pengembangan Produk pangan darurat ini tidak hanya terpaku dalam bentuk padat atau berbentuk makanan pada umumnya, namun dapat juga di kembangkan dalam bentuk pasta atau minuman yang di tujukan untuk konsumen khusus misalnya untuk balita,ibu menyusui dan anak anak. Didalam kondisi darurat, anak-anak adalah objek yang paling terkena dampak dari bencana. BNPB menyatakan bahwa sekitar 15 % dari anak balita di daerah bencana terkena dampak gizi buruk. Pada tahun 2014, dari 3.929.704 balita di Jawa Barat tercatat sebanyak 46.673 kasus balita dengan berat badan di bawah garis merah (BGM) hal ini mengindikasikan adanya masalah gizi. 74% nya (39.541 kasus) tersebar di wilayah Jawa Barat Selatan (Sukabumi, Ciamis, Tasik, Garut, dan Cianjur). Sedangkan jumlah balita gizi buruk di Jawa Barat Selatan pada tahun 2014 adalah sebanyak 20% dari 2.554 kasus gizi buruk di Jawa Barat (Dinas Kesehatan Jawa Barat, 2015). Kondisi tersebut mempengaruhi jumlah kematian balita yeng berhubungan dengan infeksi penyakit. Selain dari itu, kondisi gizi buruk pada balita juga berhubungan dengan konsekuensi jangka panjang seperti rendahnya tingkat kecerdasan anak, rendahnya kemampuan untuk bersosialisasi serta rendahnya performa dalam bekerja. Pemberian suplemen makanan yang dikombinasikan dengan program pendampingan nutrisi secara intensif serta penyuluhan terkait kesehatan, merupakan gagasan yang diharapkan dapat memberikan hasil yang positif dalam menangani anak dengan kondisi gizi yang buruk pada daerah terdampak bencana. Nutrisi pendamping dalam keadaan darurat bencana atau pangan siap guna/ready-to-usefoods (RUF) biasa digunakan untuk mengintervensi status gizi anak balita yang mengalami gizi buruk akibat bencana. Tujuan utama dilaksanakanya program intervensi gizi di daerah darurat bencana diantaranya adalah untuk meningkatkan ketersediaan pangan dan sebagai respon awal pihak pemerintah atas keadaan darurat di suatu wilayah terdampak bencana.

RUF biasanya diproduksi dengan memanfaatkan baku lokal yang mudah di dapatkan meskipun pada umumnya produk pangan darurat ini memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi hal itu di sebabkan karena di rancang khusus. Konsep pangan darurat juga harus memperhitungkan masalah kultur dan pola makan dari masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di pedalaman sehingga produk yang akan disediakan paling tidak telah disesuaikan dengan kondisi setempat.Bila konsep pangan darurat ini dikaitkan dengan konsep ketahanan pangan, maka idealnya produk yang dihasilkan harus berbahan baku lokal. Kendala ini tentu merupakan sebuah tantangan lain dalam merancang pangan darurat untuk Indonesia mengingat bahwa sumber karbohidrat utama seperti terigu, gula pasir dan sebagian dari kebutuhan beras masih tergantung impor. Begitu pula dengan tiga sumber protein utama rakyat Indonesia, yaitu susu bubuk, daging sapi dan kedelai.

Salah satu makro nutrient dalam formulasi pangan darurat yaitu protein. Sumber protein yang akan kami kaji dalam hal ini adalah Whey Protein dari limbah pengolahan susu. Whey atau serum susu merupakan cairan sisa hasil proses pembuatan keju. Whey terbentuk ketika kasein/curd terpisah melalui proses renneting atau penurunan pH susu didalam proses pembuatan keju.  Komposisi whey cair (liquid whey) terdiri dari protein, karbohidrat yang sebagian besar dalam bentuk laktosa, lemak dan mineral. Protein dan laktosa yang terdapat didalam whey memiliki peran yang penting didalam pembentukan struktur pada produk pangan termasuk didalamnya pangan darurat. Perlakuan panas pada whey protein akan menghasilkan agregat dan menyebabkan perubahan sifat produk seperti peningkatan tingkat kekerasan (firmness), kekeruhan, peningkatan viskositas dan pengendapan partikel. Perubahan ini akan menjadi lebih signifikan pada formulasi pangan dengan konsentrasi  protein yang tinggi yang menyebabkan produk lebih sulit untuk dikonsumsi. Rekayasa terhadap sifat-sifat whey protein misalnya dengan konversi whey protein menjadi whey protein microparticle (WPM), diperlukan guna menghasilkan formulasi pangan yang nilai gizinya dapat kita sesuaikan dengan kebutuhan orang tertentu namun masih tetap memiliki daya cerna, dan palatabilitas yang tinggi.

Pilot project aplikasi RUF dalam mempertahankan ststus gizi anak-anak balita akan dilakukan di desa Nagrak Jaya Kecamatan Curug Kembar Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Desa Nagrak Jaya berada di bagian selatan Pulau Jawa yang termasuk ke dalam daerah rawan bencana alam tanah bergerak. Kondisi akses yang sulit menuju pasar lokal, tingginya jumlah anak balita serta rendahnya jumlah orang tua yang berpendidikan menjadi permasalahan tersendiri yang juga memerlukan perhatian. Desa ini mempunyai topografi pegunungan sehingga sangat cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Komoditas utama dari Desa Nagrak Jaya adalah padi, kapol, cabe rawit, jagung, singkong, kayu, dan lain sebagainya. Meskipun desa ini sangat cocok untuk dijadikan lahan pertanian/perkebunan, akan tetapi di Dusun 2 sebagian besar masyarakatnya lebih memilih mata pencaharian sebagai wiraswasta yang umumnya bekerja menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI), lalu pada Dusun 3 dan 4 mata pencaharian masyarakat sebagian besar sebagai petani.

Gambar 2. Kondisi rumah dan fasilitas kesehatan di desa Nagrak Jaya Kecamatan Curug Kembar Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

Tabel 1. Karakteristik orang tua balita warga desa Nagrak Jaya Kecamatan Curug Kembar Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

Masyarakat Desa Nagrak Jaya untuk mendapatkan sumber pangan memiliki keterbatasan dikarenakan tidak tersedianya pasar yang dekat untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Jarak dari Desa Nagrak Jaya untuk mengakses pasar cukup jauh, pasar terdekat dari Desa Nagrak Jaya terdapat di Sagaranten, Pasar Curug Kembar, dan Pasar Pura Baya. Akan tetapi masyarakat Nagrak Jaya yang biasa pergi ke pasar memilih Pasar Sagaranten karena jaraknya paling dekat untuk diakses. Jauhnya jarak tempuh membuat sebagian warga mengurungkan niatnya untuk pergi ke pasar dan jauhnya jarrak serta kondisi jalan yang kurag bagus berimplikasi pada mahalnya tarif ojek dimana untuk sampai ke pasar yang satu kali PP bisa mencapai Rp. 50.000,00 – Rp. 60.000,00. Mahalnya ongkos dan jauhnya jarak tempuh membuat sebagian besar warga memilih berbelanja kebutuhan akan pangan dari warung di dekat rumah dan hal ini berdampak pada pola makan warga desa, maupun anak-anak balitanya dimana para orangtua akan membeli berbagai bahan makanan yang tersedia di warung tersebut, yang lebih banyak bahan makanan kering seperti telur serta ikan asin. Untuk pemenuhan akan sayuran dan buah-buahan biasanya didapatkan dari pedagang sayur dan buah keliling yang biasanya berjualan 2-3 hari sekali, namun apabila memiliki kebun maka orang tua tersebut akan memilih memanen hasil kebunnya untuk memenuhi kebutuhan seharri-hari seperti jengkol, kangkung, bayam, labu siam, daun singkong, dan lain sebagainya.

Pola makan balita di Desa Nagrak Jaya dipengaruhi dari beberapa faktor, yaitu faktor orang tua, faktor lingkungan, dan faktor dari balita sendiri. Faktor orang tua memiliki pengaruh terhadap pola makan balita dikarenakan balita di Desa Nagrak Jaya memilih makanan apa yang disukai oleh orang tua mereka, contohnya ketika orang tua suka mengonsumsi petai, anak pun akan mengikuti untuk mengonsumsi petai, ataupun pengetahuan orang tua terhadap pola makan yang dianggap pola makan yang baik untuk balita, orang tua akan mencoba untuk memberikan makanan yang dianggap baik menurut pengetahuannya. Selain itu, lingkungan juga berpengaruh terhadap pola makan balita, hal itu berpengaruh dikarenakan ketersediaan makanan yang ada di lingkungan seperti makanan yang selalu tersedia di warung (lingkungan sekitar rumah), orang-orang yang berperan sebagai teman ataupun tetangga dekat juga memiliki pengaruh karena makanan yang dikonsumsi oleh tetangga akan mempengaruhi kemauan anak untuk memilih suatu makanan, adanya gengsi yang dimiliki antarwarga dimana hal tersebut merupakan pengaruh terbesar atas pola jajan yang dimiliki oleh anak sehingga orangtua akan memberikan uang dengan alasan agar anak tidak menangis merupakan sebuah pernyataan yang selalu dijadikan jawaban atas tindakan tersebut, tangisan anak yang disebabkan meminta jajan kepada orangtua dianggap suatu hal yang memalukan. Faktor lain yang berasal dari diri balita sendiri merupakan faktor akhir yang memperlihatkan atas pola makan mereka, memakan ataupun menolak makanan yang ditawarkan oleh orangtua ataupun lingkungan merupakan keputusan dari balita sendiri, orangtua sekali pun tidak pernah memaksa kepada anaknya makanan apa yang harus dimakan mereka, pada akhirnya orangtua memberikan kebebasan untuk memilih makanan apa yang ingin dikonsumsi oleh mereka.Gambar 3. Kondisi infrastruktur jalan di desa Nagrak Jaya Kecamatan Curug Kembar Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

Gambar 4. Kondisi anak balita dan suasana pada saat dilaksanakaanya FGD

Ketika terjadi bencana tanah bergerak masyarakat Desa Nagrak Jaya yang terkena bencana langsung mengungsi ke posko yang telah disediakan oleh pemerintah. Namun ada juga warga yang memilih tidak mengungsi dan tinggal di rumahnya dengan alasan bencana belum mengancam dirinya secara langsung. Mengungsi dilakukan pada malam hari, sedangkan untuk siang hari warga kembali ke rumahnya masing-masing. Ketika mengungsi di posko warga tidak melakukan pengelolaan makanan, karena ada pembagian makanan yang dibagikan ke tiap kepala keluarga oleh ketua RT masing-masing KK. Ketika terjadi bencana, masyarakat Nagrak Jaya tetap bisa mendapatkan memanfaatkan kebun sebagai sumber bahan makanan. Bahan makanan yang bisa dimanfaatkan ketika terjadi bencana adalah talas, ubi jalar, dan singkong (umbi-umbian).

Gambar 5. Kondisi posko penampungan pengungsi

Ketika terjadi bencana, masyarakat tidak merasakan adanya permasalahan pangan dari pihak luar. Karena warung tempat berbelanja dan pedagang keliling tetap beroperasi seperti hari-hari biasa. masyarakat juga tidak mempunyai kesiapsiagaan pangan dalam menghadapi bencana. Dalam menghadapi bencana, masyarakat hanya menyimpan bahan makanan yang bisa bertahan lama terutama makanan pokok seperti padi, itu pun biasa dilakukan sebelum terjadi bencana. masyarakat juga tidak memiliki strategi khusus dalam menghadapi bencana, strategi mereka hanya tetap melakukan kegiatan bekerja seperti hari-hari biasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masalah lainnya yang dihadapi balita saat bencana diantaranya :

  1. Bayi tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) karena terpisah dari ibunya
  2. Bantuan makanan yang sering terlambat, tidak berkesinambungan
  3. Terbatasnya ketersediaan pangan lokal
  4. Bantuan pangan dari dalam dan luar negeri yang mendekati atau melewati masa kadaluarsa, tidak disertai label yang jelas, tidak ada keterangan halal
  5. Melimpahnya bantuan susu formula bayi dan botol susu.
  6. Kurangnya pengetahuan dalam penyiapan makanan buatan lokal khususnya untuk bayi dan balita.

Oleh sebab itu, penting adanya ketersediaan makanan yang cukup dari segi jumlah dan kualitas bagi balita pada saat bencana. Sediaan makanan balita dalam kondisi darurat dapat dikonsumsi oleh dewasa, namun sediaan makanan dewasa tidak dapat dikonsumsi sembarangan oleh balita. Kecukupan makanan bagi balita juga dipengaruhi oleh perilaku pengasuh dalam memenuhi kebutuhannya. Dari hasil studi self efficacy pengasuh dalam memenuhui kebutuhan balita pada saat terjadi bencana tidak cukup baik. Oleh sebab itu diperlukan intervensi yang mendorong perilaku kearah yang lebih baik agar kebutuhan balita tetap dapat terpenuhi. Ketersediaan makanan untuk balita pada saat terjadi bencana menjadi penting untuk diperhatikan oleh semua pihak. Berdasarkan kajian awal tersebut Program Intervensi Gizi Balita berbasis Ready to use food (RUF) akan dilaksanakan pada bulan Juli – September 2018 dengan melibatkan balita, orang tua dan pemangku kepentingan untuk kebencanaan dan kesehatan pada tingkat Kabupaten Sukabumi. Program intervensi gizi tersebut dilaksanakan untuk mengetahui apakah aplikasi RUF bagi anak di daerah rawan bencana dapat digunakan sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan status gizi anak didalam kondisi darurat bencana. Hasil kajian dari studi ini selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan didalam merumuskan kebijakan terkait penanggulangan penurunan ststus gizi anak pasca bencana.